Type Here to Get Search Results !

Bunuh Diri Jadi Trend di Kalangan Mahasiswa Indonesia

0

KOK BISA YA?

  • Humaniora

Source : reverasite.com

Isu- isu bunuh diri di Indonesia akhir- akhir ini sangat mengkhawatirkan. Kasus bunuh diri yang diangkat oleh media sangat sering diberitakan, dan mayoritas yang diberitakan adalah bunuh diri di kalangan mahasiswa.

Baca juga : Apakah Beras Perlu Dicuci Sebelum Dimasak?

Seperti kasus bunuh diri mahasiswa baru Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang melompat dari lantai 4 gedung asrama, kemudian mahasiswi UNNES yang lompat dari mall Paragon Semarang. Ada juga mahasiswi UNAIR yang ditemukan meninggal di dalam mobil karena menghirup gas beracun.

Apa yang terjadi kepada mahasiswa Indonesia sehingga banyak yang memutuskan untuk melakukan bunuh diri?

Menurut data dari Pusat Informasi Kriminal Kepolisian Republik Indonesia, tercatat ada 971 kasus bunuh diri yang terjadi di Indonesia dari bulan Januari sampai Oktober 2023 (Muhamad, 2023). Data tersebut telah melampaui kasus bunuh diri yang tercatat selama tahun 2022.

Hal ini tentu menjadi kekhawatiran kita bersama, karena kejadian tersebut menjadi bukti bahwa masyarakat Indonesia masih belum terlalu aware terhadap kondisi kesehatan mental. Menurut World Health Organization, bunuh diri merupakan penyebab kematian nomor 4 di kalangan anak muda antara usia 15—29 tahun. Ini menjadi bukti bahwa mahasiswa yang kebanyakan berada dalam rentang usia tersebut memiliki kemungkinan permasalahan kesehatan mental.

Kebanyakan mahasiswa termasuk ke dalam usia dewasa awal. Pada masa ini merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola kehidupan yang baru serta harapan sosial yang baru dari masa remaja menuju masa dewasa (Putri, 2019).

Masa ini adalah masa pencarian, eksplorasi yang penuh dengan masalah dan ketegangan emosional. Pada masa ini juga terjadi kebingungan- kebingungan serta muncul kondisi yang mereka. Mulai dari hubungan dengan masalah materi, hubungan interpersonal, hubungan dengan orang tua yang menyebabkan kemungkinan untuk melakukan bunuh diri sangat besar. (Huang dkk, 2021).

Terdapat penelitian yang dilakukan kepada mahasiswa di Taiwan menunjukan bahwa faktor risiko bunuh diri pada mahasiswa adalah faktor- faktor yang menyebabkan stress seperti, perasaan tertinggal dengan orang lain, buruknya komunikasi dengan orang tua serta stress akademik menyebabkan tingginya risiko perilaku bunuh diri.

Selain itu, dalam penelitian lain yang dilakukan di Bangladesh terdapat faktor- faktor yang mempengaruhi mahasiswa melakukan bunuh diri yaitu perasaan depresi, putus asa, konflik dengan keluarga, putus cinta, tidak adanya dukungan sosial, masalah keuangan, serta permasalahan stress akademik memberikan kontribusi terhadap kecenderungan untuk melakukan bunuh diri.

Di Korea Selatan, kecenderungan bunuh diri mahasiswa ini dipengaruhi oleh depresi terlebih terhadap mahasiswa yang melakukan self harm terhadap diri sendiri.

Baca juga :  Astronom Temukan Keberadaann Dua Planet Ekstrasurya Yang Berbagi Orbit

Cara Meminimalisir Faktor Risiko Bunuh Diri pada Mahaisiswa?

Social support atau dukungan sosial. Biasanya kebanyakan mahasiswa itu adalah anak yang merantau jauh dari keluarga, orang tua dan teman- teman terdekat di kampung halaman. Mereka harus beradaptasi dengan lingkungan bau dan tentunya dengan orang baru. Hal tersebut bisa menimbulkan rasa terisolasi apalagi bagi mereka yang memang sulit untuk berbabur dengan lingkungan sekitar, kesepian dan rasa terisolasi itu sangat beresiko terkena gejala depresi dan ide untuk mengakhiri hidup. (Goncalves dkk, 2014).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Salsabila & Panjaitan, (2019) mereka menemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara dukungan sosial dengan ide bunuh diri pada mahasiswa rantau. Ini berarti semakin besar dukungan sosial yang diberikan maka semakin rendah ide bunuh dirinya.

Oleh karena itu, dukungan dari keluarga, teman, sahabat, atau mungkin pasangan sangat diperlukan oleh mahasiswa agar mereka tidak merasa sendiri, dan tidak merasa terisolasi, apalagi bagi mereka yang memutuskan untuk merantau.

Coping stress. Kehidupan akademik yang berbeda dengan tingkatan sebelumnya membuat mahasiswa harus beradaptasi dengan beban akademik yang cukup berat, misalnya sejak SMA siswa hanya belajar melalui buku paket yang merupakan hal- hal basic dan dapat dijelaskan secara umum saja.

Akan tetapi, di bangku perkuliahan semua menjadi spesifik dan keilmuannya jelas lebih tinggi, hal tersebut menjadikan stressor bagi mahasiswa. Sehingga, beban akademik yang begitu besar membuat mahasiswa rawan terkena stress.

Sebenarnya stress itu bisa berdampak positif jika diatasi dengan coping stress yang benar. Begitupun sebaliknya, jika stress itu diatasi dengan cara coping yang salah maka itu akan sangat berbahaya, hal tersebut dapat menyebabkan seseorang mengalami keputusasaan, cemas, depresi bahkan sampai memiliki keinginan untuk mengakhiri hidup (Lalenoh dkk, 2021).

Coping stress ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, terdapat beberapa cara untuk melakukan coping stress bisa dengan religious coping atau dengan pendekatan keagamaan (Nursadrina & Adriani, 2020) misal dengan banyak mengikuti ceramah keagamaan, atau melakukan ritual- ritual keagamaan untuk me-recharge diri agar stress yang dialami bisa teratasi, atau bisa juga dengan melakukan hal- hal yang disukai seperti melukis, menonton dan lain sebagainya.

Resiliensi. Resiliensi merupakan kemampuan untuk mempertahankan stabilitas kondisi psikologis dalam menghadapi tekanan (Sari dkk, 2023). Orang yang memiliki resiliensi yang tinggi akan cenderung menghadapi permasalahan dengan tenang, bisa bersosialisasi dengan baik dan mudah berbaur serta tidak mudah untuk menyerah terhadap tekanan- tekanan yang menghampiri.

Orang yang memiliki resiliensi akan seperti bola basket yang dipantulkan, semakin ditekan semakin memantul ke atas, sehingga mereka tidak akan mudah mengalami depresi atau melakukan tindakan bunuh diri.

Baca juga : Di Balik Misteri Orang-Orang Berkulit Biru di Kentucky

Menurut American Psychologycal Assosiation (APA), terdapat lima strategi yang dapat dilakukan agar bisa membangun sikap resiliensi antara lain dengan membangun koneksi sosial, cobalah untuk berbaur dan mencari teman agar kita tidak merasa terisolasi, bisa dilakukan dengan bergabung bersama komunitas-komunitas yang positif atau mengikuti kegiatan- kegiatan yang bisa membuat kita me-refresh otak dari kegiatan perkuliahan.

Selanjutnya adalah menjaga kesehatan. Sebagai mahasiswa, terlebih yang merantau coba untuk mulai menjaga kesehatan dengan menerapkan pola hidup yang sehat, dengan mengkonsumsi makanan yang bergizi dan melakukan olahraga untuk menunjang kesehatan fisik dan mental kita.

Kemudian menemukan visi atau tujuan, hal tersebut juga bisa menjadikan kita pribadi yang resilien, karena kita tidak bingung dengan apa yang kita lakukan, karena kita punya goals yang ingin dicapai. Kita juga harus bisa mengembangkan pikiran yang positif.

Cobalah untuk tidak overthingking dan memikirkan sesuatu yang justru malah merusak diri kita. Jika diperlukan, jangan takut untuk meminta bantuan kepada orang lain agar kita tidak menghadapi permasalahan itu sendirian.

Semoga dengan Langkah-langkah yang telah dipaparkan bisa membantu menurunkan kasus bunuh diri pada mahasiswa di Indonesia. Semoga mahasiswa Indonesia tetap sehat dan produktif untuk membangun bangsa dengan semangat diiringi dengan kondisi mental yang sehat dan kuat.

Source :GNFI

Baca juga : Etnografi Digital yang Masuk pada Kehidupan Manusia


Tags

Post a Comment

0 Comments

Top Post Ad


Buttom Ads Post