LUKISAN APA INI?
- Sejarah
George Turnour (1799–1843) mendapat tugas sebagai pegawai sipil Kerajaan Inggris ke Srilangka pada awal ke-19. Lelaki kelahiran Srilangka ini dikenal sebagai bangsawan, cendekiawan, sekaligus sejarawan. Kelak, dia terpilih sebagai anggota kehormatan Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland.
Baca juga : Bagaimana Sejarah Perang Salib Berpengaruh pada Kehidupan Modern?
Selama bertugas, dia bekerja dengan seorang biksu Buddha. Mereka menerjemahkan naskah kuno abad kelima dari bahasa Srilanka Pali ke dalam bahasa Inggris berjudul Mahavamsa. Kitab sastra ini berisi kunjungan Buddha ke Srilangka, tawarikh raja-raja Srilangka, sejarah sangha Buddha, dan tawarikh Srilangka.
Pada 1827 seorang Skotlandia, Jonathan Forbes, mendengar kisah Kashyapa dan istananya. Kemudian dia memutuskan untuk mencarinya. Pada tahun 1831 dia berangkat ke lokasi. Penduduk setempat mengatakan kepadanya bahwa dia akan menemukan sisa-sisa kota kuno.
Forbes menggambarkan "batu Sirigi, ... menantang dengan cemberut di atas ladang yang sedikit dan hutan yang luas di dataran sekitarnya."
Saat Forbes mendekat, dia bisa melihat platform dan galeri yang diukir di batu. Dua dari rombongannya berhasil memanjat ke atas tetapi batu-batu terlepas, "yang jatuh di antara dahan-dahan pohon di kedalaman yang sangat dalam di bawah."
Namun, Forbes tidak yakin apakah dia telah menemukan Sigiriya yang disebutkan dalam teks Buddhis. Kemudian dia meninggalkan ekspedisi tersebut.
Akhirnya, Forbes mengunjungi kembali beberapa tahun kemudian. Dia menelusuri parit yang mengelilingi taman di kaki batu tetapi tidak mencoba memanjat permukaan tebing. Dia meragukan bahwa nama Sigiriya terkait dengan singa, karena dia tidak melihat apa pun yang mendukung etimologi tersebut.
Berikutnya, pendaki gunung Inggris akhirnya mencapai puncaknya pada tahun 1851, tetapi tugas untuk mensurvei situs jatuh ke tangan Archaeological Commissioner of Ceylon, Harry C.P. Bell. Surveinya pada akhir abad ke-19 telah menjadi dasar dari semua penelitian sejak saat itu.
H.C.P. Bell and C. M. Fernando menerbitkan laporan mereka dalam "Interim Report on the Operations of the Archaeological Survey at Sigiriya, 1897" dalam the Journal of the Ceylon Branch of the Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland Vol. 15, No. 48 (1897). Penerbitnya, Royal Asiatic Society of Sri Lanka.
"Di atas dataran tempatnya berdiri, batu gneiss berbentuk oval yang sangat besar ini menjulang setinggi sekitar 600 kaki," tulis keduanya. "Sekitar setengah tingginya ditutupi oleh teras dan puing-puing, ditutupi dengan hutan dan rumput mana, dan bagian atasnya, tanpa bantuan tangga, sama sekali tidak dapat diakses dari alasnya yang menjorok hampir sepanjang jalan."
Baca juga : Mengenal Music Declares Emergency IndonesiaMereka melanjutkan, "Di sepanjang permukaan barat dan utara Sigiri-gala terdapat sebuah galeri, salah satu prestasi teknik paling luar biasa di dunia kuno pada tingkat di mana Batu memiliki diamater terkecil."
Bell dengan susah payah memastikan tata letak kota fantastis Kashyapa. Dia juga merinci ukiran kaki singa yang luar biasa di pintu masuk, yang tidak dapat dilihat Forbes.
Selain taman air yang rumit di kaki batu, survei Bell juga mencurahkan perhatian pada galeri di permukaan batu. Ini dihiasi dengan lukisan dinding yang sangat indah yang telah menjadi beberapa benda paling berharga dalam warisan artistik Sri Lanka. Sebanyak 21 lukisan dinding yang bertahan mungkin menggambarkan bidadari, penyanyi dan penari surgawi.
Raja Kashyapa memerintah pada abad ke-5 Masehi. Kreasi artistiknya menghiasi dinding Sigiriya. Raja menginginkan Sigiriya layaknya dongeng Alakamanda, kota para dewa. Terdapat satu catatan tentang lukisan dinding ini: "Belaian angin sepoi-sepoi lembut menyentuh tubuh mereka, diterangi oleh cahaya sinar bulan."
Sejarawan berbeda pendapat tentang identitas wanita yang direpresentasikan tinggi di dinding tebing. Bentuk padat dan sensual mereka membuat beberapa kajian meyakini bahwa mereka adalah penggambaran wanita dari harem Kashyapa. Teori lain meyakini bahwa mereka adalah penggambaran bidadari, penyanyi, dan penari dalam mitologi India yang menghuni surga.
Berdasarkan jejak-jejak yang masih dapat kita jumpai pada hari ini, keinginan Raja Kashyapa itu menjadi suatu prestasi yang bisa dicapai oleh para pengrajin kuno, salah satunya lukisan dinding Sigiriya.
Awalnya, dinding Sigiriya diplester dan dicat putih untuk menyampaikan gagasan kemurnian, mirip dengan cara kota dewa digambarkan di dunia kuno. Namun, Kashyapa lebih berniat menciptakan tontonan megah yang akan menonjol dan menarik perhatian siapa pun yang mengunjungi benteng tersebut.
Perhiasan bertakhtakan permata yang rumit dan mewah tampak menghiasi para wanita dalam lukisan dinding itu. Penampilan itu juga menunjukkan bahwa mereka mungkin adalah anggota keluarga kerajaan, yaitu putri-putri Kashyapa. Ada juga kepercayaan bahwa lukisan tersebut menggambarkan bidadari, atau dewi, yang muncul dari surga untuk memberkati benteng Sigiriya.
Pendapat ini dikuatkan oleh penggambaran serupa di Gua Ajanta periode Gupta di Maharashtra, India. Beberapa sejarawan bahkan meyakini bahwa gambar tersebut benar-benar menggambarkan bidadari surga sebagai pelindung Benteng Batu Sigiriya
Di dekatnya, juga di dinding permukaan batu, terdapat lebih dari 1.000 item lukisan dinding, yang digores oleh para biarawan dan peziarah yang mengunjungi situs tersebut pada abad ke-8 hingga abad ke-13.
Pesan-pesan dari masa lalu ini dapat menimbulkan getaran saat dibaca oleh pengunjung hari ini. Salah satunya berbunyi: “Di Sigiriya, dengan kemegahan yang melimpah, terletak di pulau [Sri Lanka] kami melihat, dalam suasana hati yang bahagia, batu karang yang memikat pikiran semua orang yang datang ke sini.”
(Source : Nationalgeographic)
Baca juga : Mampukah Kombucha Tangkal Radiasi Nuklir?