SEPERTI APA HAL INI TERJADI DI ABAD PERTENGAHAN?
- Sejarah
Kematian merupakan hal yang begitu ditakuti oleh banyak orang. Itulah sebabnya bagi mereka yang beragama, seseorang senantiasa dianjurkan untuk menjalani perintah agamanya secara taat supaya tidak sampai masuk neraka ketika meninggal.
Baca juga : Tradisi Natal Berbagai Negara di Dunia
Masyarakat Eropa pada masa Abad Pertengahan (periode antara abad ke-4 hingga abad ke-15) memiliki posisi yang unik dalam menyikapi kematian. Pasalnya di masa itu, penduduk Eropa masih memiliki keyakinan kuat akan agama dan klenik. Mereka juga kerap kali harus berjibaku dengan perang, wabah penyakit, dan masalah sosial seperti kemiskinan. Berikut ini adalah hal-hal unik terkait kematian di Eropa pada masa Abad Pertengahan.
Cara Orang Eropa di Abad Pertengahan Memastikan Apakah Seseorang Sudah Meninggal
Orang yang sedang tertidur pulas seringkali nampak tidak ada bedanya dengan orang yang sudah meninggal jika hanya dilihat sekilas. Untuk membedakannya, maka tubuh orang tersebut harus disentuh.
Jika tubuh orang tersebut masih hangat dan detak jantungnya masih terasa, maka itu berarti orangnya masih hidup dan hanya sedang tertidur lelap. Namun jika detak jantungnya sudah tidak terdengar dan tubuhnya sudah terasa dingin serta kaku, maka itu tandanya orangnya sudah meninggal.
Metode yang kurang lebih serupa juga digunakan oleh orang Eropa di Abad Pertengahan untuk mencari tahu apakah seseorang sudah meninggal. Namun selain metode tadi, dokter dari Abad Pertengahan yang bernama Bernard de Gordon juga memaparkan cara lain untuk memastikan apakah seseorang masih hidup atau tidak.
Bernard menjelaskan bahwa jika seseorang nampak sudah tidak bergerak sama sekali, orang tersebut sebaiknya disakiti dengan cara dijambak rambutnyav dipelintir jarinya, atau ditusuk kulitnya dengan jarum.
Namun anjuran Bernard masih belum berhenti sampai di sana. Ia juga meminta supaya gumpalan kapas ditaruh di atas mulut pasien. Jika kapasnya tidak bergerak sama sekali, maka itu berarti orangnya sudah tidak bernapas dan sudah bisa dinyatakan meninggal.
Dalam banyak kasus, orang yang sudah meninggal seringkali tidak akan langsung dimakamkan. Sebagai contoh, saat raja Perancis Louis XII meninggal, jenazahnya sempat dipajang terlebih dahulu supaya bisa dijadikan model untuk membuat patung. Saat jasad Louis akhirnya dikebumikan, patung yang menampilkan sosok mayat Louis kemudian dibaringkan di atas peti matinya.
Mayat Korban Pembunuhan Konon Bisa Memberitahukan Siapa Pembunuhnya
Di masa kini, menggunakan mayat korban pembunuhan untuk mencari tahu siapa pembunuhnya bukanlah hal yang aneh. Pasalnya saat seseorang melakukan pembunuhan, tidak jarang ia meninggalkan jejak pada korbannya. Misalnya jenis alat yang digunakan untuk membunuh, potongan rambut atau benda lain yang berasal dari pelaku, dan masih banyak lagi.
Praktik menggunakan mayat korban pembunuhan untuk menemukan pelakunya sendiri ternyata sudah dikenal di Eropa sejak Abad Pertengahan. Namun tidak seperti teknik analisa di masa kini, pada masa itu upaya menemukan pelaku pembunuhan memiliki unsur gaib yang jauh lebih kuat.
Saat seseorang sudah meninggal, darahnya akan mengering dan mengendap di dalam tubuh karena sel-sel tubuhnya sudah mati. Namun menurut keyakinan penduduk Eropa pada Abad Pertengahan, mayat korban pembunuhan darahnya akan kembali mengalir jika ia dihadapkan dengan pembunuhnya. Pasalnya serpihan jiwa mayat tersebut akan merasa murka dan menuntut balas dendam jika ia sampai kembali beehadapan dengan orang yang sudah membunuhnya.
Untuk keperluan ini, mula-mula petugas penegak hukum akan meletakkan mayat korban pembunuhan di dalam ruangan. Sesudah itu, orang-orang yang diduga sebagai pembunuhnya akan dibawa masuk ke dalam ruangan satu demi satu.
Saat terduga pembunuhan sudah masuk, petugas akan melukai mayat dengan benda tajam. Jika ada darah yang sampai merembes keluar saat dilukai, maka terduga pembunuhan yang kebetulan sedang berada di ruangan tersebut akan langsung dutangkap dan ditetapkan sebagai pelakunya.
Meskipun praktik ini terlihat aneh dan tidak memiliki dasar ilmiah, nyatanya metode ini banyak digunakan di Eropa pada masa silam. Di Jerman contohnya, metode ini hingga abad ke-16 kerap digunakan untuk memecahkan kasus pembunuhan.
Kuburan Fungsinya Bukan Hanya untuk Menguburkan Mayat
Kuburan atau pemakaman dikenal sebagai tempat yang sakral. Pasalnya di tempat inilah, orang-orang yang sudah meninggal akan dikuburkan untuk menjalani peristirahatan terakhirnya.
Karena sebab di atas, maka kuburan idealnya harus senantiasa berada dalam suasana sepi. Tujuannya tidak lain untuk menghormati arwah mereka yang sudah meninggal beserta sanak keluarga yang ditinggalkan.
Namun tahukah anda kalau di Eropa pada masa Abad Pertengahan, ternyata kuburan pernah menjadi pusat keramaian? Pasalnya kuburan pernah digunakan oleh penduduk pada masa itu untuk menggelar aneka macam acara yang dihadiri oleh banyak orang.
Acara-acara tersebut di antaranya adalah kampanye pemilu, sidang pengadilan, khotbah keagamaan, dan lain sebagainya. Gilanya lagi, kuburan juga kerap digunaka oleh para pekerja seks untuk menjajakan diri dan mencari pelanggan.
Ada alasan tersendiri mengapa orang-orang pada masa itu merasa tidak bermasalah saat harus menggunakan kuburan sebagai tempat untuk menggelar acara.
Kuburan memiliki lahan yang luas supaya bisa menampung mayat sebanyak mungkin. Sebagai akibatnya, kuburan pun dipandang sebagai tempat yang ideal untuk menggelar acara yang dihadiri oleh banyak orang sekaligus.
Menurut sejarawan Philippe Aries, lahan kuburan pada masa itu dimiliki oleh lembaga Gereja. Supaya mereka bisa membantu menyediakan lahan bagi para pedagang kecil untuk berjualan tanpa harus membayar pajak, pihak Gereja pun memberikan izin bagi kalangan pedagang untuk memanfaatkan lahan kuburan sebagai tempat berjualan.
Tengkorak Sejumlah Mayat Dijadikan Pajangan untuk Menghemat Tempat
Sudah disinggung sebelumnya kalau kuburan biasanya memiliki lahan yang luas supaya bisa menampung mayat sebanyak mungkin. Namun saat jumlah mayat yang ada semakin banyak, tidak jarang ada mayat yang tidak bisa lagi dikuburkan di lahan kuburan tersebut karena sudah tidak ada lagi tempat kosong yang tersedia.
Fenomena macam ini utamanya terjadi saat suatu wilayah dilanda wabah atau perang. Akibat sebab-sebab tadi, jumlah orang yang meninggal menjadi jauh lebih tinggi dibandingkan biasanya. Akibatnya, kuburan pun mengalami masalah kepenuhan. Sejumlah mayat sampai terpaksa dikuburkan di liang yang sama supaya semua mayat bisa dikuburkan.
Fenomena macam itu ternyata sudah terjadi di Eropa pada masa Abad Pertengahan. Pasalnya pada masa itu, Eropa masih kerap dilanda peperangan. Eropa pada masa itu juga sempat dilanda wabah penyakit seperti Maut Hitam.
Sebagai jalan keluar atas masalah keterbatasan lahan tersebut, jalan keluar yang cukup ekstrim pun diambil oleh penduduk pada masa itu. Mayat-mayat yang sudah lama dikuburkan akan digali kembali, lalu diambil supaya bekas liang lahatnya bisa digunakan oleh mayat lain.
Sesudah itu, mayat-mayat yang wujudnya kini sudah menjadi tulang belulang akan dipreteli. Tengkorak beserta tulang-tulang tadi kemudian akan dipajang di tempat yang bernama ossuary.
Tujuan pendirian ossuary sendiri bukan semata-mata untuk menghemat lahan kuburan, tetapi juga untuk mengingatkan orang-orang supaya selalu ingat kematian.
Saat melihat tengkorak yang terpajang di dinding, para pengunjung ossuary diharapkan akan menjadi sadar kalau kelak mereka juga akan meninggal. Sesudah itu, mereka diharapkan akan menjadi lebih taat saat menjalankan ajaran agamanya. Karena alasan itulah, ossuary kerap dilengkapi dengan tempat berdoa dan atribut-atribut keagamaan.
(Source : Anehdidunia)
Baca juga : Teka-teki Penduduk yang Tinggal di Atlantis