SEPERTI APA FENOMENA YANG MENGHANCURKAN INI?
- Sains
Pada 28 September 2018 lalu, terjadi gempa di Palu, Sulawesi Tengah yang membuat tanah seolah bergerak dan berdampak pada ribuan rumah warga di sana. Fenomena tanah seolah bergerak pada gempa di Palu dikenal dengan istilah likuifaksi.
Baca juga : Apakah Kecerdasan Buatan Bisa Membuat Kita Menemukan Kehidupan Lain?
Sederhananya, likuifaksi adalah proses perubahan tanah yang sebelumnya bersifat padat menjadi seperti cairan (liquid), sehingga membuat tanah seolah-olah bergerak. Likuifaksi biasanya terjadi pada tanah yang jenuh air (saturated) alias tanah yang pori-porinya air dan membentuk air pori.
Saat gempa bumi terjadi, tekanan pada air pori akan naik bahkan melebihi kekuatan gesek tanah itu sendiri. Jika tanah yang mengalami likuifaksi berada pada area yang memiliki kemiringan, tanah tersebut dapat bergerak menuju ke bawah dan membuat benda di atas tanah tersebut (rumah, pohon, dsb) ikut bergerak ke bawah. Tidak hanya pada gempa Palu, fenomena likuifaksi juga pernah terjadi pada gempa Lombok tahun 2018.
Menurut Dr. Eng. Imam Achmad Sadisun selaku ahli geologi dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB, potensi terjadinya likuifaksi pada suatu wilayah bisa diidentifikasi. Identifikasi tersebut bisa dilihat dari jenis tanah pada suatu wilayah, di mana umumnya wilayah yang mengalami likuifaksi punya tanah yang didominasi material pasir. Likuifaksi juga biasa terjadi pada wilayah yang rentan mengalami gempa bumi dengan muka air tanah yang dangkal, serta tipe tanah yang kurang terkonsolidasi dengan baik.
Likuifaksi akan terlihat saat gempa yang muncul pada suatu wilayah memiliki kekuatan di atas 5 Skala Richter (SR) dengan kedalaman sumber gempa yang tergolong dangkal. Adapun material yang akan terlikuifaksi berada pada kedalaman sekitar 20 meter atau bahkan lebih.
Baca juga : Bali Menjadi Destinasi Wisata Terpopuler Kedua di Dunia
Supaya tidak menimbulkan dampak yang parah, likuifaksi harus dimitigasi alias dikurangi risikonya. Dikutip dari Teknik Geologi, Universitas Syiah Kuala, setidaknya ada tiga cara mitigasi likuifaksi yang bisa dilakukan, yakni:
- Melakukan evaluasi kondisi geologis pada wilayah yang rawan terjadi likuifaksi. Evaluasi meliputi sifat fisik dari pembentuk lapisan tanah, serta umur materialnya.
- Mengevaluasi atau mencari tahu berapa energi dan durasi gempa yang terjadi pada wilayah rentan likuifaksi.
- Melakukan evaluasi terhadap kondisi air tanah. Umumnya, tanah yang jenuh air saat terkena gelombang gempa bumi lebih rentan mengalami likuifaksi.
Sementara itu, Prof. Dr. Budi Soesilo Supandji selaku Pakar Geoteknik dan Manajemen Konstruksi Universitas Indonesia menyatakan bahwa kita bisa mengurangi risiko likuifaksi dengan dua metode yaitu:
1. Dynamic Compaction
Ini adalah metode yang dilakukan dengan memadatkan tanah lewat beban berat yang dijatuhkan ke tanah secara berulang dalam jangka waktu teratur. Metode ini pertama kali diterapkan di Jerman pada pertengahan tahun 1930, serta cocok diterapkan pada daerah pemukiman yang rentan likuifaksi.
2. Vibroflotation
Kalau yang satu ini adalah metode yang dilakukan dengan alat probe electric atau sistem hidrolik. Metode ini cocok diterapkan untuk tanah dengan kedalaman di atas 15 meter.
Selain melakukan dua metode tersebut, Dr. Budi juga menekankan pentingnya melakukan sosialisasi kepada masyarakat soal bahaya likuifaksi dan cara mengurangi risikonya.
Source : GNFI
Baca juga : Menghadapi Masa Depan